Jumadil Akhir 1429 H
Juli 2008 M
Buletin
Penyejuk Hati
Menuju Sunah Rasul
SALAM REDAKSI <<<<
Assalamu’alaikum Wr.Wb. Segala puji bagi Allah, pencipta makhluk yang terpuji, Nabi Muhammad SAW. Rabb yang telah memudahkan terbitnya buletin ke16 ini. Semoga istiqomah dan berjalan dalam naungan ridlo-Nya. Amin. Keindahan islam semoga bercahaya diatas zaman yang sudah bertebaran fitnah ini. Semoga Allah menjauhkan kita dari fitnah tersebut. Amin. Kritik dan saran serta pertanyaan insya Allah akan kami terima dengan sebaik-baiknya. Mohon maaf setulus-tulusnya atas setiap kesalahan baik dalam hal pencetakan, isi, maupun dari pribadi kami. Jazakumullah khairan katsiran. Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
FIQRAH <<<<
Madzhab
Secara bahasa madzhab berarti jalan. ”Madzhab berarti jalan” (Al- Qamus al-Muhith 86). Sedangkan pengertian madzhab secara istilah sebagaimana dijelaskan oleh KH. Zainal Abidin Dimyathi dalam kitabnya al-Idza’ah al-Muhimmah adalah ”Madzhab adalah hukum-hukum dalam berbagai masalah yang diambil, diyakini dan dipilih oleh para imam mujtahid.” (Al-Idza’ah al-Muhimmah, 18)
Madzhab tidak akan terbentuk dari hukum yang telah jelas (qath’i) dan disepakati para ulama. Misalnya bahwa shalat itu wajib zina haram dan semacamnya. Madzhab itu ada dan terbentuk karena terdapat beberapa persoalan yang masih terjadi perselisihan di kalangan ulama. Kemudian hasil pendapat itu disebarluaskan serta diamalkan oleh para pengikutnya.
Jadi, madzhab itu merupakan hasil elaborasi (penelitian secara mendalam) para ulama untuk mengetahi hukum tuhan yang terdapat dalam al-Qur’an, al-Hadits serta dalil yang lainnya. Dan sebenarnya, madzhab yang boleh diikuti tidak terbatas pada empat saja. Sebagaimana yang dikatakan oleh Sayyid ’Alawi bin Ahmad al-Seggaf dalam Majmu’ah Sab’ah Kutub Mufidah, ”(Sebenarnya) yang boleh diikuti itu tidak hanya terbatas pada empat madzhab saja. Bahkan masih banyak madzhab ulama yang boleh diikuti, seperti madzhab dua Sufyan (Sufyan al-Tsauri dan Sufyan bin Uyainah), Ishaq bin Rahawaih, Imam Dawud al-Zhahiri, dan al-Awza’i.” (Majmu’ah Sab’ah Kutub Mufidah. 59)
Namun mengapa yang diakui serta diamalkan oleh ulama golongan Ahl al Sunnah wa al Jama’ah hanya empat madzhab saja?
Sebenarnya, yang menjadi salah satu faktor adalah tidak lepas dari murid-murid mereka yang kreatif, yang membukukan pendapat-pendapat imam mereka sehingga pendapat imam tersebut dapat terkodifikasikan dengan baik. Akhirnya, validitas (kebenaran sumber dan salurannya) dari pendapat-pendapat tersebut tidak diragukan lagi. Di samping itu, madzhab mereka telah teruji ke-shahihan-nya, sebab memiliki metode istinbath (penggalian hukum) yang jelas dan telah tersistematisasi dengan baik, sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, sebagaimana yang diuraikan oleh Sayyid Alwi bin Ahmad al-Seggaf, ”Sesungguhnya ulama dari kalangan madzhab Syafi’i RA menjelaskan bahwa tidak boleh bertaqlid kepada selain madzhab yang empat, karena selain yang empat itu jalur periwayatannya tidak valid, sebab tidak ada sanad yang bisa mencegah dari kemungkinan adanya penyisipan dan perubahan. Berbeda dengan madzhab yang empat. Para tokohnya telah mencurahkan kemampuannya untuk meneliti setiap pendapat serta menjelaskan setiap sesuatu yang memang pernah diucapkan oleh mujtahidnya atau yang tidak pernah dikatakan, sehingga para pengikutnya merasa aman (tidak merasa ragu atau khawatir) akan terjadinya perubahan, distorsi pemahaman, serta mereka juga mengetahui pendapat yang shahih dan yang dha’if”. (Majmu’ah Sab’ah Kutub Mufidah, 59)
Pada perkembangan selanjutnya para ulama pesantren terus-menerus berusaha untuk membangkitkan sistem bermadzhab ini. Karena zaman bergulir begitu cepatnya, waktu melesat tak dapat dicegat, dan perubahan tidak dapat dielakkan, sementara fiqh Islam harus hadir memberikan solusi untuk menjawab berbagai persoalan kemasyarakatan, maka umat Islam di tuntut untuk dapat berkreasi dalam memecah berbagai persoalan tersebut. Sehingga diperlukan pendekatan ’baru’ guna membuktikan slogan shaliha likulli makaan wa zamaani. Salah satu bentuknya adalah dengan mengembangkan pola bermadzhab secara tekstual (madzhab qawli) menuju pola bermadzhab metodologis (madhzhab manhaji) dalam fiqh Islam, sebagaimana yang digagas oleh DR. KH. Sahal Mahfudh.
Beberapa ciri yang menonjol dalam fiqh sosial diantaranya adalah melakukan interpretasi teks-teks fiqh secara kontekstual, perubahan pola bermadzhab, dari madzhab kontekstual (madzhab qawli) menuju pola bermadzhab secara metodologis (madzhab manhaji), verifikasi ajaran secara mendasar, dengan membedakan ajaran yang pokok (ushul) dan yang cabang (furu’), dan pengenalan metodologi filosofi, terutama dalam masalah budaya dan sosial. (KH.Sahal Mahfudh, dalam Duta Masyarakat, 18 Juni 2003)
Namun demikian, usaha ini hanya bisa dilakukan dalam persoalan sosial kemasyarakatan (hablun min-al nas), tetapi tidak bisa masuk masalah hablumminallah. Artinya, dalam hubungan dengan sesama manusia, kaum muslimin harus membuat berbagai terobosan baru untuk menjawab dinamika sosial yang terus bergulir dengan cepat. Namun, itu tidak berlaku dalam hubungan vertikal hamba dengan Sang Khalik. Sebab yang dibutuhkan dalam ibadah adalah kepatuhan seorang hamba yang tunduk dan pasrah menyembah kepada-Nya. Sebagaimana kaidah yang diungkapkan oleh al-Syathibi al-Muwafaqat-nya “Yang asal dalam masalah ibadah adalah ta’abbud (dogmatis) tanpa perlu melihat maknanya. Sedangkan asal dalam mu’amalah (interaksi antara sesama manusia) adalah memperhatikan maknanya (esensinya).” (Al-Muwafakat fi Ushul al-Ahkam, juz II, hal 300)
Dari penjelasan sederhana ini, dapat ditarik beberapa kesimpulan.
Madzhab merupakan sebuah ’jalan’ yang ’disediakan’ oleh para mujtahid sebab adanya perbedaan pendapat di antara mereka.
Umat Islam tidak terikat pada satu madzhab tertentu dan mereka diberi kebebasan untuk memilih madzhab.
Namun, yang berhak diikuti hanya terbatas pada empat madzhab saja, yakni madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali.
Umat Islam perlu mengembangkan pola bermadzhab yang dapat menjamin kemaslahatan masyarakat, khususnya dalam masalah sosial kemasyarakatan.
Di Kota Bunga, Malang, Jawa Timur, ada seorang auliya’ yang terkenal karena ketinggian ilmunya. Ia juga hafal ribuan hadits bersama dengan sanad-sanadnya. Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih Al-Alawy dilahirkan di kota Tarim, Hadramaut, pada hari Selasa 15 Safar tahun 1316 H/1896 M. Saat bersamaan menjelang kelahirannya, salah seorang ulama besar, Habib Syaikhan bin Hasyim Assegaf, bermimpi bertemu Sulthanul Auliya’ Syekh Abdul Qadir Jailani. Dalam mimpi itu Syekh Abdul Qadir Jailani menitipkan kitab suci Al-Quranul Karim kepada Habib Syaikhan bin Hasyim Assegaf agar diberikan kepada Habib Ahmad bin Muhammad Bilfagih.
Pagi harinya Habib Syaikhan menceritakan mimpinya kepada Habib Ahmad. Habib Ahmad mendengarkan cerita dari Habib Syaikhan, kemudian berkata, ”Alhamdulillah, tadi malam aku dianugerahi Allah SWT seorang putra. Dan itulah isyarat takwil mimpimu bertemu Syekh Abdul Qadir Jailani yang menitipkan Al-Quranul Karim agar disampaikan kepadaku. Oleh karena itu, putraku ini kuberi nama Abdul Qadir, dengan harapan, Allah SWT memberikan nama maqam dan kewalian-Nya sebagaimana Syekh Abdul Qadir Jailani.” Demikianlah, kemudian Habib Ahmad memberi nama Abdul Qadir karena mengharap berkah (tafa’ul) agar ilmu dan maqam Abdul Qadir seperti Syekh Abdul Qadir Jaelani.
Sejak kecil, ia sangat rajin dan tekun dalam mencari ilmu. Sebagai murid, ia dikenal sangat cerdas dan tangkas dalam menerima pelajaran. Pada masa mudanya, ia dikenal sebagai orang yang mempunyai perhatian besar terhadap ilmu dan menaruh penghormatan yang tinggi kepada guru-gurunya. Tidaklah dinamakan mengagungkan ilmu bila tidak memuliakan ahli ilmu, demikian filosofi yang terpatri dalam kalbu Habib Abdul Qadir.
Pernah suatu ketika di saat menuntut ilmu pada seorang mahaguru, ia ditegur dan diperingatkan, padahal Habib Abdul Qadir waktu itu pada pihak yang benar. Setelah memahami dan mengerti bahwa sang murid berada di pihak yang benar, sang guru minta maaf. Namun, Habib Abdul Qadir berkata, ”Meskipun saya benar, andaikan Paduka memukul muka hamba dengan tangan Paduka, tak ada rasa tidak menerima sedikit pun dalam diri hamba ini.” Itulah salah satu contoh keteladanan yang tinggi bagaimana seorang murid harus bersopan-santun pada gurunya.
Guru-guru Habib Abdul Qadir, antara lain, Habib Abdullah bin Umar Asy-Syatiry, Habib Alwy bin Abdurrahman Al-Masyhur, Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf, Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdor, Syekh Segaf bin Hasan Alaydrus, Syekh Imam Muhammad bin Abdul Qadir Al-Kattany, Syekh Umar bin Harridan Al-Magroby, Habib Ali bin Zain Al-Hadi, Habib Ahmad bin Hasan Alatas, Habib Ali bin Muhammad Al-Habsy, Syekh Abubakar bin Ahmad Al-Khatib, Syekh Abdurrahman Bahurmuz. Dalam usia yang masih anak-anak, ia telah hafal Al-Quran. Tahun 1331 H/1912 M, ia telah mendapat ijazah dan berhak memberikan fatwa agama, antara lain di bidang hukum, dakwah, pendidikan, dan sosial. Ini merupakan anugerah Allah SWT yang telah diberikan kepada hamba pilihan-Nya.
Maka tidak berlebihan bila salah seorang gurunya, Habib Alwi bin Abdullah bin Syihab, menyatakan, ”Ilmu fiqih Marga Bilfagih setara dengan ilmu fiqih Imam Adzro’iy, sedangkan dalam bidang tasawuf serta kesusastraan bagai lautan tak bertepi.”
Sebelum meninggalkan kota Tarim untuk berdakwah, di tanah kelahirannya ia sempat mendirikan organisasi pendidikan sosial Jami’yyatul Ukhuwwah wal Mu’awanah dan Jami’yyah An-Nasr Wal Fudho’il tahun 1919 M. Sebelum berhijrah ke Indonesia, Habib Abdul Qadir menyempatkan diri beribadah haji dan berziarah ke makam Nabi Muhammad SAW. Setelah itu, ia melanjutkan perjalanan dan singgah di beberapa kota dan negara, seperti Aden, Pakistan, India, Malaysia, dan Singapura. Di setiap kota yang disinggahi, ia selalu membina umat, baik secara umum maupun khusus, dalam lembaga pendidikan dan majelis taklim.
Tiba di Indonesia tepatnya di kota Surabaya tahun 1919 M/1338 H dan langsung diangkat sebagai direktur Madrasah Al-Khairiyah. Selanjutnya, ia mendirikan Lembaga Pendidikan Madrasah Ar-Rabithah di kota Solo tahun 1351 H/1931 M. Selepas bermukim dan menunaikan ibadah haji di Makkah, sekembalinya ke Indonesia tanggal 12 Februari 1945 ia mendirikan Pondok Pesantren Darul Hadits Al-Faqihiyyah dan Perguruan Islam Tinggi di kota Malang. Ia pernah diangkat sebagai dosen mata kuliah tafsir pada IAIN Malang pada 1330 H/1960 M. Keistimewaan Habib Abdul Qadir adalah, ia ahli ilmu alat, nahwu, sharaf, manthiq, ilmu kalam, serta ma’any, bayan, dan badi (tiga yang terakhir merupakan bagian ilmu sastra). Dalam bidang hadits, penguasaannya adalah bidang riwayat maupun dirayah, dan hafal ribuan hadits. Di samping itu, ia banyak mendapat hadits Al-Musalsal, yakni riwayat hadits yang tersambung langsung kepada Rasulullah SAW. Ini diperolehnya melalui saling tukar isnad (saling menukar periwayatan hadits) dengan Sayid Alwy bin Abas Al-Maliky saat berkunjung ke Makkah. Sebagai seorang ulama yang menaruh perhatian besar dalam dunia pendidikan, ia juga giat mendirikan taklim di beberapa daerah, seperti Lembaga Pendidikan Guru Agama di Sawangan, Bogor, dan Madrasah Darussalam Tegal, Jawa Tengah.
Banyak santrinya yang di kemudian hari juga meneruskan jejaknya sebagai muballigh dan ulama, seperti Habib Ahmad Al-Habsy (Ponpes Ar-Riyadh Palembang), Habib Muhammad Ba’abud (Ponpes Darul Nasyi’in Malang), Habib Syekh bin Ali Al Jufri (Ponpes Al-Khairat Jakarta Timur), K.H. Alawy Muhammad (Ponpes At-Taroqy Sampang, Madura). Perlu disebutkan, Prof. Dr. Quraisy Shihab dan Prof. Dr. Alwi Shihab pun alumnus pesantren ini. Habib Abdul Qadir wafat pada 21 Jumadil Akhir 1382 H/19 November 1962 dalam usia 62 tahun. Kala saat-saat terakhirnya, ia berkata kepada putra tunggalnya, Habib Abdullah, ”… Lihatlah, wahai anakku. Ini kakekmu, Muhammad SAW, datang. Dan ini ibumu, Sayyidatunal Fatimah, datang….” Ribuan umat berdatangan untuk meyampaikan penghormatan terakhir kepada sang permata ilmu yang mumpuni itu. Setelah disemayamkan di Masjid Jami’ Malang, ia dimakamkan di kompleks makam Kasin, Malang, Jawa Timur.
Diringkas dari manakib tulisan Habib Soleh bin Ahmad Alaydrus, pengajar Ponpes Darul Hadits Malang, Jawa Timur
BAHTSUL MASAIL <<<<
Dapatkah Hukuman Mati Melebur Dosa
Oleh KH. A. Mustofa Bisri
Seri ke-59, Jum'at, 25 Februari 2000
Tanya:
Orang yang membunuh orang baik disengaja atau tidak, kalau sudah menjalani hukuman mati apakah sudah impas dosanya? Artinya, di akhirat kelak tidak akan dimintai pertanggungan jawab mengenai dosanya membunuh itu?
Bagaimana hukumnya algojo yang melaksanakan tugas hukuman mati tersebut; kan itu namanya membunuh orang juga?
Jawab:
Secara hakikat, dosa apa saja, termasuk dosa membunuh orang, adalah terserah Allah. Kalau Allah menghendaki, yang bersangkutan bisa saja diampuni, tapi bisa juga tidak. Namun secara syariat, ada dosa --termasuk dosa membunuh-- yang sudah ditentukan hukumnya di dunia. Apabila hukuman tersebut sudah dilaksanakan sesuai ketentuan, yang bersangkutan tidak akan dituntut lagi di akhirat. Rasulullah Saw. dalam suatu majelis, seperti diceritakan shahabat 'Ubadaha Ibn Shaamit, bersabda:
"Kalian berbaiatlah kepadaku untuk tidak menyekutukan Allah dengan apapun, tidak berzina, tidak mencuri, dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah. Dan barangsiapa melakukan sesuatu dari larangan-larangan tersebut kemudian sudah dihukum karenanya, maka hukuman itu merupakan tebusannya. Sedangkan barangsiapa melakukan (tidak sampai ketahuan), maka urusannya terserah Allah; jika menghendaki ia mengampuninya dan jika menghendaki ia menghendaki ia bisa menyiksannya." (HR. Muslim)
Dari hadis-hadis tersebut jelas bahwa pembunuh yang sudah menjalani hukumnnya di dunia, seperti yang Anda tanyakan, tidak akan dituntut lagi (untuk dosanya membunuh itu) di akhirat kelak. Karena hukuman di dunia itu sudah diragukan merupakan tebusannya.
Dari hadis itu pula, terjawab pertanyaan Amda kedua tentang algojo yang bertugas menghukum si pembunuh. Meskipun namanya membunuh juga, namun si algojo melakukannya semata-mata menjalankan tugas. Atau dengan kata lain, dia membunuh dengan alasan yang haq menurut agama. Demikian, wallaahu A'lam
MUTIARA HIKMAH <<<<
Mandhumah Wasiyah Al-Ikhwan
Al Imam Al Habib Muhammad bin Ali bin Husain bin Ali bin Muhsin bin Alhusain bin Umar bin Abdurrahman Alattas
Wasiatku padamu wahai saudaraku! Taatlah kalian selalu kepada Allah
Dan janganlah kalian menyiakan waktu kalian, kelak kalian kan menyesali yang dilewatkan
Karena sesungguhnya modal terbesar seseorang adalah masa mudanya
dan sumber kerugiannya adalah mengulur-ulurkan waktunya
Alangkah indah taatnya para pemuda maka bergegaslah untuk selalu bertakwa, saudaraku!
Makmurkan waktu kalian dengan taat dan dzikir setiap waktu
Karena barang siapa yang tersiakan sesaat dari waktunya maka akan menjadi penyesalan untuknya di kuburnya
Dan yang mengatakan aku masih muda, tunggu ketika ku dewasa ku kan takut pada Allah
sesungguhnya mereka itulah yang ditipu iblis dan hatinya telah lalai dan tertutup
Celakalah mereka yang tak bertaubat saat muda dan tak pernah mau melihat kekurangannya
Jika kau ingin mengikuti jejak Sang Nabi maka jauhilah teman yang dapat merusakmu
Pilihlah kawan yang bisa membimbingmu sebab sseorang selalu mengikuti perilaku kawannya
Persahabatan dengan orang solih merupakan obat hati dan menambah semangat dan tabahnya hati
Sedangkan persahabatan dengan orang bodoh adalah penyakit dan membutakan
Serta menambah penyakit bagi hati yang sakit
Bertaubatlah kepada Tuhanmu hai manusia sebelum terlambat dengan datangnya kematian
Wahai yang lalai dan lupa pada Tuhannya!
Renungkanlah… dengan apa kau kan menghadap kepadaNya?!
Apakah kau tak berfikir bahwa kematian datang dengan cepat?!
Dan tidakkah kau berfikir bahwa yang didapat manusia hanyalah hasil dari perbuatannya?!
Dan sungguh tidak ada yang dapat dipetik oleh manusia setelah kematian
Melainkan buah dari apa yang ia perbuat (di dunia)?!
(dengarkanlah Nasihatku) wahai orang yang bangkrut (perdagangan akhiratnya), panjang angan-angannya…menyia-nyiakan waktunya serta banyak alasannya
siang harinya dilalui dengan foya-foya dan di malam hari tidur dengan keadaan sangat tercela
Doamu untukku (selalu ku harapkan) wahai yang mendengar wasiatku…
Agar (Tuhan) selalu mengampuniku dan menutup usiaku dengan syahadat
Segala puji bagi Allah atas selesainya wasiat ini sepanjang diserukannya solat
Dan sholawat semoga selalu tercurah kepada Nabi Sang Pemimpin selama merpati-merpati menyanyi diatas dahan dan juga kepada keluarganya selama pagi tetap bersinar serta para sahabatnya selama angin tetap berhembus
TIM REDAKSI
Habib Soleh bin Ali Alatas <<<<>
Alyan Fatwa <<<<>
Ustadz Muslih <<<<>
> Khanan > Zia Ul Haq > Heri K > Azis Salato > A. Faiq H. > Soleh <<<<>
=| CONTACT PERSON |=
mt_nurulhidayah@yahoo.com eMAIL
www.majelistalimnurulhidayah.blogspot.com BLOG
www.yahoogroups.com/mt_nurulhidayah MILIS
0283-445179 / 081519858987 Telp.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar